Fenomena perilaku didalam
organisasi.
Contoh
kasus:
Salah
satu organisasi yang cukup terkenal di Bandung mendapatkan kepercayaan untuk
mengatur pernikahan anak pejabat Negara. Tentunya seluruh anggota maupun ketua
organisasi tersebut harus ikut serta dalam mensukseskan proyek ini, bukan
karena ini proyek dari pejabat Negara, tetapi memang sudah menjadi kewajiban
mereka harus mengerjakan tugas dengan baik.
Di
pertengahan pekerjaan ini, ada salah satu anggota (sebut saja X) yang terlihat
asal-asalan pada saat mengerjakan proyek. Padahal di awal, X terlihat sangat
bersemangat dan sungguh-sungguh mengerjakan proyek ini. Rekan-rekan kerjanya
pun merasa aneh, X berubah menjadi sensitif dan seringkali membentak
rekan-rekannya sendiri, X berubah menjadi tidak bisa diajak bercanda, emosian,
dan sinis kepada rekan-rekannya.
Sudah
menjadi kewajiban sesama rekan untuk menanyakan apa yang terjadi dengan X,
mengapa X berubah total dalam waktu beberapa hari. Tapi, X tidak mau angkat
bicara sedikitpun. Akhirnya, rekan-rekannya menceritakan kepada ketua
organisasi dan meminta bantuannya untuk menyelesaikan masalah ini, karena
perilaku X memberikan dampak yang negatif dalam proses pengerjaan proyek ini.
Sebagai
ketua organisasi, sudah seharusnya turun tangan dan perhatian kepada seluruh
rekan-rekannya. Ketua organisasi mereka memanggil X dan meminta X untuk
menceritakan mengapa X berperilaku seperti itu, dan apa ada masalah serius yang
membuat X menjadi seperti itu. Setelah berbicara 4 mata, akhirnya ketua
organisasi pun mengetahui permasalahan yang dialami X.
Jadi,
kronologis ceritanya, X merupakan seorang suami dan seorang ayah dari
anak-anaknya. Salah satu anak X ada yang baru saja akan menginjak Sekolah
Menengah Pertama. Tentunya akan membutuhkan banyak pengeluaran, karena anaknya
akan masuk SMP. Istri X terus saja menuntut X terus menerus dan menekan X agar
cepat membayar sekolah anaknya secara lunas, padahal bisa dibayar dengan cara
menyicil, istri X tidak mau tahu apa alasannya yang pasti anak X harus sekolah
dengan pembayaran yang sudah lunas dan juga setiap X pulang kerja, selalu saja
terjadi keributan di rumah hanya karena masalah sepele itu. Ternyata
permasalahan pribadi terbawa hingga masalah pekerjaan, X menjadi stress dan
tidak karuan ketika bekerja di kantor.
Tanggapan
saya dari kasus ini adalah, stress merupakan hal yang wajar bagi setiap umat
manusia. Stressor (pembangkit stress
atau faktor pencetus stress) tidak akan
pernah diketahui kapan akan munculnya. Kasus di atas tadi, stressor nya adalah istrinya sendiri. X sudah
berusaha untuk memberikan pengertian kepada istrinya, tetapi istrinya
bersikukuh pada keinginannya, ditambah lagi juga X mendapat tekanan pekerjaan
yang harus diselesaikan secepatnya dan sempurna. Maka dari itu, X merasa
tertekan sehingga masalah pribadi terbawa ke masalah pekerjaan, yang mungkin
sebelumnya X bisa diajak bercanda, tidak mudah marah, menjadi berubah 180
derajat karena masalah yang sedang ia hadapi. Sebaiknya, X harus memberanikan
diri untuk memberikan pengertian kepada istrinya agar membayar dengan dicicil
saja, jangan sekaligus, jika uangnya dibayar sekaligus lunas, memang akan
tenang, tetapi kebutuhan pokok yang lain akan terbengkalai. X harus berani
berbicara kepada istrinya, tetapi juga melihat situasi dan kondisi yang
memungkinkan untuk berbicara 4 mata dengan tenang. Dan juga X harus belajar
membedakan antara permasalahan pribadi dengan permasalahan di tempat kerja,
jangan sampai permasalahan pribadi dibawa ke kantor atau permasalahan kantor
dibawa ke rumah. X harus bisa menempatkan dirinya.
No comments:
Post a Comment